Senin, 24 Juni 2013

silsilah pelabuhan ratu

keunikan dan keistimewaan Pantai Pelabuhan Ratu sesungguhnya tetap menjadi daya tarik yang tiada duanya bagi wisatawan. Keindahan panorama alam perairan pinggiran Laut Selatan itu, berpadu dengan cerita mistik tentang seorang Ratu penguasa Laut Selatan adalah fenomena yang tidak dimiliki pantai-pantai lain di manapun juga.”
Setelah menempuh perjalanan selama lebih-kurang 5 jam dari Jakarta, kami tiba di obyek wisata pantai yang berlokasi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pantai Pelabuhan Ratu, demikianlah masyarakat menamai tempat ini. Panorama keindahan langsung menyambut setiap pengunjung sejak awal memasuki areal pantai teluk yang amat termashur di dekade-dekade lalu. Dalam beberapa tahun terakhir, kepopuleran Pantai Pelabuhan Ratu agak menurun terutama disebabkan terbukanya akses jalan ke obyek wisata pantai di daerah lainnnya, seperti ke Pantai Carita di Provinsi Banten. Kemudahan menjangkau Pantai Carita dan tersediannya fasilitas wisata di sana menjadikan warga Jakarta dan wisatawan lain cenderung memilih Pantai Carita sebagai tujuan berliburnya bersama keluarga.
Jarak tempuh yang cukup panjang dari Jakarta dan kesulitan akses ke lokasi Pantai Pelabuhan Ratu cukup menyulitkan wisatawan untuk mengunjungi Pantai Pelabuhan Ratu yang terletak di selatan Kota Sukabumi. Namun demikian, keunikan dan keistimewaan Pantai Pelabuhan Ratu sesungguhnya tetap menjadi daya tarik yang tiada duanya bagi wisatawan. Keindahan panorama alam perairan pinggiran Laut Selatan itu berpadu dengan cerita mistik tentang seorang ratu penguasa laut di selatan Pulau Jawa itu merupakan fenomena yang tidak dimiliki pantai-pantai lain di manapun juga.
Pantai Pelabuhan Ratu terbentang cukup panjang menghadap lautan Indonesia bagian selatan. Pantai ini terdiri atas pantai landai berpasir, pantai bebatuan, pantai curam, dan pantai dengan karang-karang terjal. Di beberapa bagian pantai kita bisa menemukan persawahan penduduk yang langsung berbatasan dengan garis laut, sebuah pemandangan yang unik dan menarik. Suara deburan ombak memecah di pantai menambah semarak suasana alam sekitar, ditambah rimbunnya hutan cagar alam di beberapa bagian di pinggiran pantai memberi keteduhan dan segarnya suasana pinggiran perairan ini. Selain untuk menikmati pemandangan alam pantai, banyak pengunjung ke sini khusus untuk mencicipi makanan khas lautnya yang bahan-bahannya merupakan hasil tangkapan para nelayan di pantai tersebut. Secara keseluruhan, sajian keindahan pantai mampu menghapus segala kepenatan yang melanda sepanjang perjalanan tadi.
Makam Nyai Roro Kidul
Di balik keindahan yang terpancar, Pantai Pelabuhan Ratu juga menyimpan cerita mistis dari legenda Penguasa Pantai Selatan, Nyai Mas Ratu Dewi Roro Kidul atau sering kita dengar dengan sebutan Nyai Roro Kidul. Memang selama ini terdapat berbagai versi cerita mengenai Nyai Roro Kidul yang berbeda satu sama lain. Akan tetapi esensi setiap cerita itu sama, masyarakat sekitar pantai amat percaya bahwa lautan lepas yang terlihat dari bibir pantai dihuni dan dikuasai oleh Nyi Roro Kidul dan banyak membantu masyarakat, terutama nelayan yang melaut di sana. Nyai Roro Kidul telah menjadi bagian dari hidup mereka dari generasi ke generasi. Sebagai ucapan terima kasih sang Nyai, masyarakat dan para nelayan sekitar pantai sering menggelar ritual-ritual yang sangat unik.
Di daerah itu, konon terdapat komplek makam yang salah satu dari sekian makam tersebut  dipercaya adalah tempat Nyai Roro Kidul dikebumikan. Makam ini tepatnya berada 20 km dari Pelabuhan Ratu yaitu Pantai Hawu, sebuah pantai yang mempunyai tebing-tebing yang menjorok ke laut. Menurut cerita masyrakat sekitar, bahwa salah satu tebing tersebut merupakan tempat Nyai Roro Kidul menghabiskan sisa hidupnya. Saat itu, Nyai sangat tersiksa dengan penyakit yang dideritanya. Akibat sakit yang tak kunjung juga sembuh itu, ia terpaksa mengakhiri hidupnya dengan menceburkan dirinya ke laut. Ajaib…, Nyai Roro Kidul menjelma menjadi wanita yang sangat cantik dan mempunyai kesaktian mandraguna yag sangat tinggi. Di makam Ratu Penguasa Pantai Selatan ini terdapat ruangan khusus. Ruangan yang didominasi dengan warna merah itu, terdapat lukisan yang besar menggambarkan sosok Nyi Mas Ratu Dewi Roro Kidul. Selain itu, di sebelah makamnya terdapat juga Eyang Jalah Mata, Eyang Sanca Manggala dan Eyang Syeh Husni Ali.
Peristrahatan Presiden dan Penyu
Ternyata, Pantai Pelabuhan Ratu juga menyimpan cerita menarik tentang mantan orang nomor satu di negeri ini, yakni Presiden RI pertama, Ir. Soekarno. Di tempat ini kita bisa menjumpai istana peristirahatan Presiden RI pertama itu. Sebuah istana yang dibangun pada 1960 dan memiliki panorama yang amat bagus. Sukarno juga pernah mendirikan tempat peristirahatan lainnya di sini pada Tahun 1970 tepatnya di Tanjo Resmi. Tidak hanya itu, Beliau juga mendirkan hotel megah di lokasi itu yang diberi nama Samudera Beach Hotel, salah satu hotel mewah pertama yang dibangun di Indonesia, bersamaan dengan pembangunan Hotel Indonesia, Bali Beach Hotel dan Toko Serba Ada "Sarinah", yang kesemuanya menggunakan dana pampasan perang dari Jepang.
Di kawasan Pelabuhan Ratu, terdapat sembilan titik lokasi untuk berselancar, yaitu di Batu Guram, Karang Sari, Samudra Beach, Cimaja, Karang Haji, Indicator, Sunset Beach, Ombak Tujuh sampai Ujung Genteng. Masing-masing pantainya mempunyai ombak dengan karakteristik sendiri. Kegiatan olahraga lainnya, yang unik dan terbilang langka ada di sini, yakni Arung Gelombang. Keberadaan olahraga air yang satu ini di Pantai Pelabuhan Ratu terbilang sangat baru, dan mungkin satu-satunya di Indonesia, bahkan di dunia. Pemerintah Daerah setempat dalam dua tahun terakhir telah mencoba melaksanakan event Arung Gelombang dengan mengundang peserta dari daerah lain, bahkan pernah juga diikuti oleh peserta dari luar negeri.
Pantai Pelabuhan Ratu juga terkenal sebagai tempat bertelur dan berbiaknya penyu. Sebagaimana diketahui bahwa penyu adalah salah satu jenis hewan laut yang mulai terancam punah, dan karenanya termasuk salah satu binatang yang dilindungi di dunia. Kita berharap agar masyarakat sekitar pantai untuk terus menjaga dan melindungi ekosistem penyu-penyu agar tidak punah di Pantai Pelabuhan Ratu. Selain itu, bagi Pemerintah setempat diharapkan agar terus memantau keadaan hewan langka ini dari tangan-tangan jahil yang mencoba menangkap untuk dikonsumsi daging dan telurnya. Rumah (kulit) penyu sering dijadikan hiasan yang mahal harganya, sehingga banyak diburu manusia. Marilah kita sama-sama melestarikan kekayaan yang terdapat di Bumi Pertiwi ini agar tidak punah ditelan zaman

silsilah batu karut

BUMI ALIT KABUYUTAN, BATU KARUT

Perjalanan ke lokasi ini kami tempuh dengan dua buah angkot borongan. Lama perjalanan sekitar 15-20 menit. Tiba di lokasi, kami masih harus mencari juru kunci dulu karena kompleks situs ternyata terkunci. Dari luar tampak plang  bertuliskan “Situs Rumah Adat Sunda (Bumi Alit Kabuyutan) – Lebakwangi Batu Karut – Kec. Arjasari Kab. Bandung”.
Juru kunci, Bapak Enggin, segera membukakan gerbang dan mengajak semua peserta untuk berkumpul di bale. Pertanyaan utama dari beliau adalah “apa tujuan kunjungan ini?.” Usia sepuh membuatnya berbicara sangat perlahan dengan artikulasi yang kurang tegas, karena itu semua Aleutians merapat sangat dekat agar dapat menyimak dengan baik. Bagi beberapa teman, usaha ini cukup sia-sia, karena Pak Enggin menggunakan bahasa Sunda dengan banyak kata yang tidak terlalu biasa terdengar dalam percakapan sehari-hari di kota.
Inti cerita, Pak Enggin menyampaikan berbagai simbol yang terdapat dalam Bumi Alit Kabuyutan. Semua simbol ini berkaitan dengan filosofi kehidupan dan keagamaan yang menjadi pedoman hidup masyarakat penganutnya. Menurutnya, Batu Karut adalah pusat penyebaran agama Islam dengan menggunakan siloka. Misalnya saja ukuran rumah yang 5×6 meter dikaitkan dengan rukun Islam dan rukun Iman. Perkalian dari ukuran itu adalah jumlah juz dalam Quran. Angka-angka yang sama terulang lagi dalam menceritakan isi Bumi Alit. Di dalamnya terdapat 5 buah pusaka, yaitu lantingan, pedang, keris, badi, dan tumbak. Kelima pusaka ini ditempatkan dalam sumbul yang sekaligus menjadi pusaka keenam. Semua pusaka dibungkus oleh 5 lapis boeh.
Penceritaan filosofi ini berlangsung cukup lama dan intensif. Namun yang seringkali terjadi dalam kunjungan ke situs-situs keramat seperti ini adalah tidak ada keterangan sejarah yang memadai. Kebanyakan pertanyaan akan dijawab dengan agak kabur atau tidak tahu. Misalnya saja pertanyaan asal mula rumah adat ini, siapa pembangunnya,siapa yang menghuni, bagaimana kisahnya hingga menjadi tempat penyimpanan benda pusaka, dst. Bapak Enggin hanya selintas saja bercerita tentang situs Gunung Alit yang berada dekat dengan Bumi Alit. Di Gunung Alit terdapat beberapa makam tokoh dengan fungsi pemerintahan dan sosial di Batu Karut dahulu.

Masing-masing makam tersebut adalah Mbah Lurah yang memegang urusan pemerintahan, Mbah Wirakusumah sebagai panglima, Mbah Patrakusumah urusan seni-budaya, Mbah Ajilayang Suwitadikusumah bagian keagamaan, dan Mbah Manggung Jayadikusumah. Nama terakhir ini tak saya temukan fungsinya dalam catatan yang saya buat, tampaknya terlewatkan.
Selain itu Bapak Enggin juga bercerita tentang upacara adat dan tata cara berziarah. Pada bagian ini saya kesulitan mencatat detail sesajian yang semuanya juga dihubungkan dengan filosofi kehidupan. Secara sepintas saya juga bertanya tentang sertifikat yang sebelumnya saya lihat terpajang di rumah Bapak Enggin. Sertifikat itu dikeluarkan oleh Depdikbud Dirjen Kebudayaan Direktorat Kesenian, Jakarta, tahun 1993 bagi peserta Festival Musik Tradisional Tingkat Nasional 1993 di Jakarta. Obrolan pun berlanjut ke kesenian yang dianggap asli Batu Karut, yaitu goong renteng atau sering juga disebut goong renteng Mbah Bandong dengan istilah bandong yang dikaitkan dengan asal-usul nama kota Bandung. Maksudnya adalah bahwa dalam kesenian gamelan ini terdapat dua buah goong yang ngabandong atau berpasangan, berhadapan.
Laras dalam gamelan goong renteng berbeda dengan yang umumnya dikenal, mereka menyebutnya laras bandong. Instrumen lain yang dipergunakan dalam gamelan ini adalah sejenis bonang yang disebut kongkoang, gangsa (sejenis saron), paneteg (sejenis kendang), dan beri yang mirip gong namun tidak berpenclon. Penggunaan gangsa dapat menunjukkan ketuaan kesenian ini karena biasanya tidak digunakan lagi dalam gamelan umumnya. Demikian juga dengan gong beri yang biasanya digunakan dalam peperangan dengan fungsi sebagai penanda. Gong beri tidak lazim digunakan dalam gamelan namun masih dapat ditemui digunakan dalam iringan seni bela diri tradisional.
Selain goong renteng, di daerah ini juga dapat ditemukan seni terebangan (sejenis rebana), reog, barongan, dan beluk. Beberapa tahun lalu, seorang teman peneliti musik dari Perancis pernah mengajak untuk menyaksikan dia merekam kesenian beluk di beberapa tempat, di antaranya di Banjaran. Saya masih selalu menyesal karena saat itu berhalangan untuk memenuhi undangan-undangannya. Namun akhirnya saya sempat juga beberapa kali menyaksikan kesenian ini diperagakan di Sumedang.